Sebagai mahasiswa
kependidikan, jadi tentunya hasil PISA 2012 tidak luput dari hasil pengamatan
saya. Namun sebagai seseorang yang masih belajar, saya tahu hasil analisa
dangkal saya mungkin tidak mumpuni jika dibandingkan dengan para ahli
pendidikan di negeri ini. Namun orang lain ternyata tidak berpikiran sama, dan
saya entah kenapa tiba-tiba saja marah begitu membaca artikel yang
terang-terangan berkata,
Maka memang sebaiknya
kita tak memperdebatkan hasil PISA, karena arah pendidikan kita memang beda.
Beda arah dan beda jalur. Tidak akan nyambung. Kitapun tak perlu berkecil
hati karena berada di peringkat 64 dari 65 negara yang disurvey. Bisa juga tahun - tahun berikutnya kita tak
perlu ikut jika yang diuji bidang - bidang itu. Kita baru ikut jika yang
akan diukur tentang keberimanan dan ketaqwaan siswa. Karena itu yang sejalan
dan searah yang membuat kita bisa bersaing. Bisa jadi kita akan menjadi
yang terbaik. Jadi … gak perlulah kita ribut dan galau oleh hasil PISA
tersebut. toh tujuan pendidikan kita berbeda. Bahasa gaulnya nyantai aja cooyy!
Sekarang saya paham mengapa Kurikulum 2013 dicemooh sebagai
Kurikulum Jalan Ke Surga. Dan maaf, ocehan diatas terdengar seperti sesuatu
yang dikatakan oleh orang yang selalu dapat nilai jelek dan ingin mencari
pembenaran.
Saya disini bukan mendiskreditkan agama. Bukankah kalau
dipikir-pikir, mengukur keberimanan dan ketaqwaan itu yang justru merendahkan
agama? Maksudnya, bagaimana caranya mengukur intensitas keyakinan dan ketakwaan
seseorang terhadap Penciptanya? Hapal tidaknya kitab suci? Siapa yang paling
taat beribadah dalam sehari? Lalu kalaupun ketakwaan bisa diukur (dengan judge
manusia), apa impact nyata yang diberikannya terhadap dunia? Dan bagaiamana
dengan orang yang tak beragama, yang menjalankan hidupnya sepenuhnya atas
penalaran rasional dan altruisme universal? Karena akui saja, dan pedih saya
mengakui ini, lebih banyak hal baik datang di dunia dari pihak yang tidak
mengusung agama tertentu, ketimbang sebaliknya.
Tapi saya disini nggak ngomongin itu.
Beberapa waktu lalu, Finlandia sempat menjadi primadona karena
hasil PISA yang mencengangkan. Praktisi pendidikan dari seluruh dunia seketika
menaruh sistem pendidikan Finlandia di bawah mikroskop, berusaha mencari tahu
seperti apa Negara Skandinavia ini mendidik anak-anak mereka. Bagi yang update
gossip dunia pendidikan, mungkin aware
tentang tidak adanya tes standar, PR yang sedikit – karakteristik pendidikan
Finlandia yang banyak disebut-sebut.
Namun satu hal yang luput dari perhatian – karena biasa bagi mereka dan
tidak biasa bagi kita – tidak adanya Agama dalam kurikulum mereka. Atau mungkin
lebih tepatnya, tidak adanya Agama resmi yang mengatur setiap aspek kehidupan
bernegara disana.
Ya,Finlandia adalah negara yang mayoritas penduduknya unbeliever alias tidak beragama.
Negara-negara Skandinavia lainnya (plus Jerman dan Belanda) juga unbeliever.
Singapura juga adalah Negara sekuler. Jepang dan Cina kuat memegang tradisinya,
namun agama tidak pernah dicampurkan dalam urusan Negara.
Saat membayangkan Negara tak beragama, kita tentu
membayangkan Negara yang rusak, korup, penuh prostitusi, penduduknya calon
penghuni neraka semua. Namun kenyataannya, Negara-negara diatas merupakan
Negara-negara dengan standar hidup tertinggi di dunia dan perekonomian yang kuat,
dengan sumber daya manusia yang mampu bersaing di kancah dunia internasional. Oh, dan mereka juga Negara-negara yang
anak-anaknya meraih skor tertinggi di PISA, yang berarti kalau tujuan tes ini
berhasil, merekalah Negara yang mampu mendidik anak-anak yang mampu
berpartisipasi secara maksimal di masyarakat modern.
Jujur, saya bangga dengan Negara kita yang memegang teguh
tradisi dan Ketuhanannya. Namun mungkin
sudah waktunya kita berhenti menjadikan itu sebagai justifikasi kekurangan kita
dalam mendidik anak bangsa yang mampu bersaing. Banyak orangtua yang lebih
memilih anaknya hafal alquran atau bahasa daerah ketimbang bahasa Inggris, beralasan
bahwa hidup di dunia hanya sesaat dan akhirat yang selamanya. Tapi masalahnya
sebelum ke akhirat, kita harus tinggal di dunia yang fana ini dan menghadapi
segala yang ada disini. Sudahkah kita bisa menghadapinya? Kita mengeluh tentang
Freeport. Kita mengeluh tentang bule yang jadi manajer di negeri sendiri
sementara pribuminya jadi bellboy. Kita mengeluh soal dibohongi koruptor dan
para penggerak koruptor. Kita mengeluh soal inflasi, UMR dan kurangnya lapangan
kerja.
See where I’m going?
Saya kira itu karena kita gampang dibodohi, karena kita
tidak siap menjadi warga dunia dan karenanya sama sekali buta akan bagaimana
caranya menempatkan dan membela harkat bangsa di mata dunia. Siapa yang
melarang kita menjadi bos di Negara kita sendiri? Tidak ada. Satu-satunya
alasan kita tidak menjadi bos karena kita tidak bisa, titik. Saya pikir kita
harus berhenti bersikap seperti korban dan mulainya mengakui bahwa untuk bisa
menang di permainan ini, kita harus mengikuti aturan permainan. Bukannya
membuat peraturan sendiri dimana kita bisa menang.
Menurut saya, keadaan idealnya adalah masyarakat yang sadar
agama dan tradisi namun bisa menjadi warga dunia, mengerti peraturannya dan
bisa memenangkannya. Kenyataannya? Kenyataanya adalah masyarakat yang ribut soal
Miss World tapi minim respons soal pengerukan sumber daya alam besar-besaran di
Negara mereka. Ada gap yang sangat lebar antara keadaan ideal dan kenyataan,
dan entah bagaimana kita harus bisa menjebatani gap itu.
Anies Baswedan mengatakan bahwa yang kita perlukan saat ini
adalah kesadaran diluar Indonesia (beyond Indonesia), bahwa salah satu janji
kemerdekaan adalah janji berperan dalam tingkat global. Sir Ken Robinson juga
berkata bahwa arah revolusi pendidikan ada dua, yaitu ekonomi dan cultural. Bagaimana
mendidik anak bangsa yang mampu menempatkan diri di pertarungan global dunia
ekonomi 10 tahun lagi (padahal memprediksi bagaimana ekonomi minggu depan saja
susahnya minta ampun), namun tetap memiliki sense of identity; tahu siapa
mereka, mereka datang dari mana dan apa yang mereka bela.
See? Ini debat lama yang sudah menjadi perhatian dan
diperjuangkan banyak pihak selama bertahun-tahun. Sekarang masalahnya, kita mau
membantu perjuangan ini atau tidak. Kalau tidak, kalau dunia memang tidak
penting, kalau yang penting memang ketakwaan dan tidak yang lain, ya tidak apa-apa.
Tapi jangan mengeluh kalau nantinya kalah di pertempuran dimana anda memang
tidak berjuang untuk menang. Kalau iya, kalau anda tidak bisa tidak peduli melihat
bangsa sendiri diinjak-injak, kalau memang mau berjuang, get back in the game. Belajar, berinteraksi, perkuat global awareness. Dalam kepercayaan saya,
membela Negara juga salah satu bentuk ibadah kok :)
No comments:
Post a Comment