Wednesday, January 1, 2014

PISA 2012

Sebagai mahasiswa kependidikan, jadi tentunya hasil PISA 2012 tidak luput dari hasil pengamatan saya. Namun sebagai seseorang yang masih belajar, saya tahu hasil analisa dangkal saya mungkin tidak mumpuni jika dibandingkan dengan para ahli pendidikan di negeri ini. Namun orang lain ternyata tidak berpikiran sama, dan saya entah kenapa tiba-tiba saja marah begitu membaca artikel yang terang-terangan berkata, 

Maka memang sebaiknya kita tak memperdebatkan hasil PISA, karena arah pendidikan kita memang beda. Beda arah dan beda jalur. Tidak akan nyambung. Kitapun  tak perlu berkecil hati karena berada di peringkat 64 dari 65 negara yang disurvey. Bisa juga tahun - tahun berikutnya kita tak perlu ikut jika yang diuji bidang - bidang itu. Kita baru ikut jika yang akan diukur tentang keberimanan dan ketaqwaan siswa. Karena itu yang sejalan dan searah yang membuat kita bisa bersaing.  Bisa jadi kita akan menjadi yang terbaik. Jadi … gak perlulah kita ribut dan galau oleh hasil PISA tersebut. toh tujuan pendidikan kita berbeda. Bahasa gaulnya nyantai aja cooyy!

Sekarang saya paham mengapa Kurikulum 2013 dicemooh sebagai Kurikulum Jalan Ke Surga. Dan maaf, ocehan diatas terdengar seperti sesuatu yang dikatakan oleh orang yang selalu dapat nilai jelek dan ingin mencari pembenaran.

Saya disini bukan mendiskreditkan agama. Bukankah kalau dipikir-pikir, mengukur keberimanan dan ketaqwaan itu yang justru merendahkan agama? Maksudnya, bagaimana caranya mengukur intensitas keyakinan dan ketakwaan seseorang terhadap Penciptanya? Hapal tidaknya kitab suci? Siapa yang paling taat beribadah dalam sehari? Lalu kalaupun ketakwaan bisa diukur (dengan judge manusia), apa impact nyata yang diberikannya terhadap dunia? Dan bagaiamana dengan orang yang tak beragama, yang menjalankan hidupnya sepenuhnya atas penalaran rasional dan altruisme universal? Karena akui saja, dan pedih saya mengakui ini, lebih banyak hal baik datang di dunia dari pihak yang tidak mengusung agama tertentu, ketimbang sebaliknya.

Tapi saya disini nggak ngomongin itu. 

Beberapa waktu lalu, Finlandia sempat menjadi primadona karena hasil PISA yang mencengangkan. Praktisi pendidikan dari seluruh dunia seketika menaruh sistem pendidikan Finlandia di bawah mikroskop, berusaha mencari tahu seperti apa Negara Skandinavia ini mendidik anak-anak mereka. Bagi yang update gossip dunia pendidikan, mungkin aware tentang tidak adanya tes standar, PR yang sedikit – karakteristik pendidikan Finlandia yang banyak disebut-sebut.  Namun satu hal yang luput dari perhatian – karena biasa bagi mereka dan tidak biasa bagi kita – tidak adanya Agama dalam kurikulum mereka. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak adanya Agama resmi yang mengatur setiap aspek kehidupan bernegara disana. 

Ya,Finlandia adalah negara yang mayoritas penduduknya unbeliever alias tidak beragama. Negara-negara Skandinavia lainnya (plus Jerman dan Belanda) juga unbeliever. Singapura juga adalah Negara sekuler. Jepang dan Cina kuat memegang tradisinya, namun agama tidak pernah dicampurkan dalam urusan Negara.  

Saat membayangkan Negara tak beragama, kita tentu membayangkan Negara yang rusak, korup, penuh prostitusi, penduduknya calon penghuni neraka semua. Namun kenyataannya, Negara-negara diatas merupakan Negara-negara dengan standar hidup tertinggi di dunia dan perekonomian yang kuat, dengan sumber daya manusia yang mampu bersaing di kancah dunia internasional.  Oh, dan mereka juga Negara-negara yang anak-anaknya meraih skor tertinggi di PISA, yang berarti kalau tujuan tes ini berhasil, merekalah Negara yang mampu mendidik anak-anak yang mampu berpartisipasi secara maksimal di masyarakat modern.

Jujur, saya bangga dengan Negara kita yang memegang teguh tradisi dan Ketuhanannya.  Namun mungkin sudah waktunya kita berhenti menjadikan itu sebagai justifikasi kekurangan kita dalam mendidik anak bangsa yang mampu bersaing. Banyak orangtua yang lebih memilih anaknya hafal alquran atau bahasa daerah ketimbang bahasa Inggris, beralasan bahwa hidup di dunia hanya sesaat dan akhirat yang selamanya. Tapi masalahnya sebelum ke akhirat, kita harus tinggal di dunia yang fana ini dan menghadapi segala yang ada disini. Sudahkah kita bisa menghadapinya? Kita mengeluh tentang Freeport. Kita mengeluh tentang bule yang jadi manajer di negeri sendiri sementara pribuminya jadi bellboy. Kita mengeluh soal dibohongi koruptor dan para penggerak koruptor. Kita mengeluh soal inflasi, UMR dan kurangnya lapangan kerja. 

See where I’m going?

Saya kira itu karena kita gampang dibodohi, karena kita tidak siap menjadi warga dunia dan karenanya sama sekali buta akan bagaimana caranya menempatkan dan membela harkat bangsa di mata dunia. Siapa yang melarang kita menjadi bos di Negara kita sendiri? Tidak ada. Satu-satunya alasan kita tidak menjadi bos karena kita tidak bisa, titik. Saya pikir kita harus berhenti bersikap seperti korban dan mulainya mengakui bahwa untuk bisa menang di permainan ini, kita harus mengikuti aturan permainan. Bukannya membuat peraturan sendiri dimana kita bisa menang. 

Menurut saya, keadaan idealnya adalah masyarakat yang sadar agama dan tradisi namun bisa menjadi warga dunia, mengerti peraturannya dan bisa memenangkannya. Kenyataannya? Kenyataanya adalah masyarakat yang ribut soal Miss World tapi minim respons soal pengerukan sumber daya alam besar-besaran di Negara mereka. Ada gap yang sangat lebar antara keadaan ideal dan kenyataan, dan entah bagaimana kita harus bisa menjebatani gap itu. 

Anies Baswedan mengatakan bahwa yang kita perlukan saat ini adalah kesadaran diluar Indonesia (beyond Indonesia), bahwa salah satu janji kemerdekaan adalah janji berperan dalam tingkat global. Sir Ken Robinson juga berkata bahwa arah revolusi pendidikan ada dua, yaitu ekonomi dan cultural. Bagaimana mendidik anak bangsa yang mampu menempatkan diri di pertarungan global dunia ekonomi 10 tahun lagi (padahal memprediksi bagaimana ekonomi minggu depan saja susahnya minta ampun), namun tetap memiliki sense of identity; tahu siapa mereka, mereka datang dari mana dan apa yang mereka bela. 

See? Ini debat lama yang sudah menjadi perhatian dan diperjuangkan banyak pihak selama bertahun-tahun. Sekarang masalahnya, kita mau membantu perjuangan ini atau tidak. Kalau tidak, kalau dunia memang tidak penting, kalau yang penting memang ketakwaan dan tidak yang lain, ya tidak apa-apa. Tapi jangan mengeluh kalau nantinya kalah di pertempuran dimana anda memang tidak berjuang untuk menang. Kalau iya, kalau anda tidak bisa tidak peduli melihat bangsa sendiri diinjak-injak, kalau memang mau berjuang, get back in the game. Belajar, berinteraksi, perkuat  global awareness. Dalam kepercayaan saya, membela Negara juga salah satu bentuk ibadah kok :)

No comments:

Post a Comment